KOTA MALANG
Kota Malang adalah
sebuah kota yang terletak di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak 90 km sebelah
selatan Surabaya dan merupakan kota terbesar di kedua
di Jawa Timur setelah Surabaya,
serta merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia menurut jumlah penduduk.
Selain itu, Malang juga merupakan kota terbesar kedua di wilayah Pulau Jawa bagian
selatan setelah Bandung.
Kota Malang berada di dataran tinggi yang cukup sejuk, dan seluruh wilayahnya
berbatasan dengan Kabupaten Malang. Luas wilayah kota Malang
adalah 252,10 km2. Bersama dengan Kota Batu dan Kabupaten Malang, Kota Malang merupakan bagian
dari kesatuan wilayah yang dikenal dengan Malang Raya (Wilayah
Metropolitan Malang). Wilayah Malang Raya yang berpenduduk sekitar 4 juta jiwa,
adalah kawasan metropolitan terbesar kedua di Jawa Timur setelah Gerbangkertosusila.
Kawasan Malang Raya dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di
Indonesia.
Malang dikenal sebagai salah satu kota tujuan pendidikan
terkemuka di Indonesia karena banyak universitas dan politeknik negeri maupun
swasta yang terkenal hingga seluruh Indonesia dan menjadi salah satu tujuan
pendidikan berada di kota ini, beberapa di antaranya yang paling terkenal
adalah Universitas Brawijaya, Universitas
Negeri Malang, UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang dan Universitas
Muhammadiyah Malang.
Sebutan lain kota ini adalah kota bunga,
dikarenakan pada zaman dahulu Malang dinilai sangat indah dan cantik dengan
banyak pohon-pohon dan bunga yang berkembang dan tumbuh dengan indah dan asri.
Malang juga dijuluki Parijs
van Oost-Java, karena keindahan kotanya bagaikan kota "Paris"
di timur Pulau Jawa. Selain itu, Malang juga mendapat julukan Zwitserland van Java karena keindahan kotanya yang
dikelilingi pegunungan serta tata kotanya yang rapi, menyamai negara Swiss di Eropa.
Malang juga berangsur-angsur dikenal sebagai kota belanja, karena banyaknya mall dan factory
outlet yang bertebaran di
kota ini. Hal inilah yang menjadikan kota Malang dikenal luas memiliki
keunikan, yakni karena kemiripannya dengan Kota Bandung di Provinsi Jawa Barat, di
antaranya dari segi geografis, julukan, dan perkembangan kotanya
Wilayah cekungan Malang telah ada sejak masa purbakala menjadi kawasan pemukiman. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini membuatnya
cocok sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas diketahui
merupakan kawasan pemukiman prasejarah.[3] Selanjutnya,
berbagai prasasti (misalnyaPrasasti Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca,
bekas-bekas fondasi batu bata, bekas saluran drainase,
serta berbagai gerabah ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di
tempat yang berdekatan.[3][4]
Nama "Malang" sampai saat ini masih diteliti
asal-usulnya oleh para ahli sejarah. Para ahli sejarah masih terus menggali
sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat atas asal usul nama
"Malang". Sampai saat ini telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai
asal usul nama Malang tersebut.
Malangkuçeçwara (baca: Malangkusheshwara) yang
tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa merupakan nama
sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua
prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907,
dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat
antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci
Malangkuçeçwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. Satu
pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung Buring,
satu pegunungan yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana terdapat
salah satu puncak gunung yang bernama Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan
ini masih terus dilakukan karena ternyata, di sebelah barat kota Malang juga
terdapat sebuah gunung yang bernama Malang.
Pihak yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan
suci itu terdapat di daerah Tumpang,
satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut
masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka,
yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuça (baca:
Malankusha) yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh
banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah tersebut,
sepertiCandi Jago dan Candi Kidal, yang keduanya merupakan
peninggalan zaman Kerajaan Singasari.
Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat
dipastikan manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang
berasal dari nama bangunan suci Malangkuçeçwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang
sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah itu.
Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi,
sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai berikut :
“………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa
Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di
sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan
Dyah Limpa yaitu ………” Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu
tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti itu.
Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada
paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Nama Malangkuçeçwara terdiri atas 3 kata, yakni mala yang berarti kecurangan, kepalsuan,
dan kebatilan; angkuça (baca: angkusha) yang berarti
menghancurkan atau membinasakan; dan Içwara (baca: ishwara) yang berarti
"Tuhan". Sehingga, Malangkuçeçwara berarti "Tuhan telah
menghancurkan kebatilan".
Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda dengan satu
pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau
“Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke
Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu
melakukan perlawanan perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap
bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud
Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Timbulnya Kerajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah
dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat
ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang.
Setelah kerajaan Kanjuruhan, pada masa emas kerajaan Singasari (1000
tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang
makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400,
Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah
kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu
kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini
masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa Kutobedah. Adalah Sultan
Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun
1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada
umumnya, Kota Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi
kolonial Hindia Belanda. Fasilitas umum direncanakan
sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif
masih berbekas hingga sekarang, misalnya ''Ijen
Boullevard'' dan
kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda
dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat
tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan
perumahan itu sekarang menjadi monumen hidup dan seringkali dikunjungi oleh
keturunan keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana.
Pada masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, daerah Malang dijadikan wilayah
"Gemente" (Kota). Sebelum tahun 1964,
dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju
tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini
merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1
April 1964,
kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkuçeçwara”. Semboyan
baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata
tersebut sangat erat hubungannya dengan asal usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira
7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi
yang bernama Malangkuçeçwara.
Kota Malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya
pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur
kereta api pada tahun1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin
meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya
terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa
terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti
dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar